Kata LAITA, saya adopsi dari nama
sebuah gerakan yang pernah ada di gereja saya (GKPS) yaitu “Kongsi Laita”,
sebuah gerakan swadaya masyarakat Kristen-Simalungun yang didirikan pada
tanggal 15 November 1931 di Sondi Raya untuk mengabarkan Injil kepada orang Simalungun
yang masih memeluk agama suku. Gerakan ini memberi pengaruh besar pada
pertumbuhan gereja GKPS.
Sejarah awalnya, seusai kebaktian minggu
pada tanggal 15 November 1931, beberapa orang Kristen-Simalungun dari Sondi
Raya sepakat untuk mengadakan rapat di rumah Gomar Saragih untuk membentuk
suatu organisasi pekabaran Injil. Rapat tersebut dihadiri oleh:- St. Parmenas Purba Tambak
- Gomar Saragih Sumbayak
- Guru Williamar Sumbayak
- St. Jonas Girsang
- Sekia Sumbayak
Malam itu didirikanlah Kongsi Laita
dengan susunan kepengurusan:
- Ketua: Guru Williamar Sumbayak
- Sekretaris/Bendahara: St. Parmenas Purba Tambak
- Komisaris:
- St. Jonas Purba
- Melanthon Saragih
- Mailam Purba
Kata "Kongsi" serupa
artinya dengan "Parhasomanon" (bahasa Simalungun) atau "Vereeniging"
(bahasa Belanda) yang merujuk pada organisasi. Namun tidak ada kewajiban atau iuran
bagi anggota sebagaimana organisasi umumnya. Pendanaan bagi setiap kegiatan di
dalamnya bersifat swadaya, didorong oleh perasaan berhutang dalam tiap anggota pada
saudara-saudaranya yang masih beragama suku.
Kata "Laita" dalam bahasa
Simalungun berarti "ayo kita pergi." yang mencerminkan semangat dan
dorongan untuk bergerak memberitakan Injil.
Sesuai dengan makna namanya, Kongsi
Laita merupakan komunitas yang terdorong untuk memberitakan injil ke pada
saudara-saudaranya untuk memberitakan Injil . Semangat penginjilan Kongsi Laita
didasarkan pada perintah amanat agung Yesus Kristus dalam Alkitab, Matius 16:15.
Metode
Gerakan ini berusaha menyebarkan
Injil dengan cara dan pendekatan yang memanfaatkan kultur Simalungun. Selain
menggunakan bahasa Simalungun sebagai pengantar, komunitas ini juga menggunakan
adat Simalungun dalam mengabarkan Injil. Sebelum berkunjung ke rumah orang yang
hendak di-injili, diadakan acara pendahuluan berupa "manurduk demban
sayur," atau menyajikan makanan adat "dayok na binator."
Dalam pengabaran Injil mereka mengganti istilah "zending"
dengan istilah "Mangarah" yang maknanya lebih mendalam bagi
orang Simalungun. Kedalaman hubungan dengan orang yang diinjili juga semakin
dekat secara emosionil dengan "martutur."
Misi pekabaran Injil sangat
diutamakan oleh komunitas ini sehingga terciptalah aturan kongsi (pati-patian
ni kongsi) yang berbunyi: "Anggo marsahap ham atap ija pe pakon sada
halak, gabe anggo marbuali ningon ma bani hata palimakababahkon mansahapkon
hata ni Naibata. Siotikon anggo samah Kristen manungkun atap marminggu do ia.
Anggo naso tinanda gabe sungkunon atap na dob marminggu do ia" (bahasa
Simalungun, artinya: Kalau anda berbicara dengan seseorang di mana saja,
haruslah anda selipkan firman Tuhan pada kalimat kelima. Minimal kalau pada
sesama orang Kristen menanyakan apakah dia mengikuti kebaktian minggu. Kalau
dengan orang yang tidak dikenal hendaknya ditanyakan apakah ia sudah beragama
Kristen).
Sebuah gerakan yang luar biasa
dengan metode yang kreatif. Bukankah gagasan ini perlu dibangkitkan kembali
saat ini? Memang masalah kita bukan lagi agama suku, tetapi orang Kristen
sendiri juga perlu memahami Injil itu dengan benar dan mendalam. Tapi, siapa
yang yang harus pergi memberitakan Injil? Bisa saja kita menyebut figur
Pendeta, Sintua, atau pengerja Gereja yang lain. Tapi bukankah itu tugas kita
bersama? Tugas yang diembankan kepada setiap orang yang percaya kepada Yesus
Kristus. Ya kita-kita yang membaca ini mendapat mandat Penginjilan sesuai
dengan Matius 28: 19-20. Eta LAITA ale... (ayo kita pergi kawan..)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar